JAKARTA, Berita HUKUM - Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) periode 2014-2019 Gusti Kanjeng Ratu Hemas beserta beberapa anggota DPD mengajukan uji materiil mengenai batasan masa jabatan bagi pimpinan DPD. Aturan tersebut termaktub dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 (UU MD3). Sidang perdana perkara yang teregistrasi dengan Nomor 109/PUU-XIV/2016 digelar, Kamis (15/12) di Ruang Sidang MK.
Diwakili oleh Andi Irmanputra Sidin selaku kuasa hukum, para pemohon meminta agar ketentuan yang mengatur masa jabatan pimpinan MPR, DPR dan DPD diberikan jangka waktu. Ketiadaan batasan masa jabatan dinilai para pemohon melanggar hak konstitusional pemohon, terutama yang sedang menduduki jabatan sebagai pimpinan DPD. Hal tersebut, lanjut Irman, karena sewaktu-waktu para pemohon bisa dilengserkan karena adanya kepentingan politik. Beberapa pasal yang dimaksud para pemohon, yakni Pasal 15 ayat (2); Pasal 84 ayat (2); Pasal 260 ayat (1); Pasal 261 ayat (1) huruf i dan Pasal 300 ayat (2) UU MD3.
"Permohonan kami ini tidak semata soal kekuasaan yang mau dipertahankan, tapi yang diinginkan adalah pembangunan sistem ketatanegaraaan. Seperti diketahui bahwa ternyata masa jabatan pimpinan lembaga parlemen sejak tahun 1970 itu tidak pernah diatur dalam undang-undang," ucapnya di hadapan Majelis Hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi Patrialis Akbar tersebut.
Pasal-pasal yang diujikan tidak mengatur tentang masa jabatan Pimpinan DPD, MPR, dan DPR ketika dipilih dari dan/oleh anggota sehingga diasumsikan ketentuan mengenai masa jabatan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Tata Tertib masing-masing lembaga DPD, MPR, dan DPR. Akan tetapi, menurut pemohon, Peraturan Tata Tertib baik DPD, MPR, dan DPR diberikan ruang yang terlalu luas dan bebas untuk menentukan masa jabatan pimpinannya. "Hal tersebut menimbulkan ketidakpastian," tambah Irman.
Karena itu, Pemohon meminta Majelis Hakim menjatuhkan putusan konstitusional bersyarat terhadap permohonan pemohon. Pasal-pasal yang dimohonkan pemohon dinyatakan konstitusional sepanjang dimaknai masa jabatan lima tahun bagi pimpinan MPR, DPR, dan DPD.
Nasihat Hakim
Menanggapi permohonan pemohon, Majelis Hakim yang juga terdiri dari Hakim Konstitusi I Dewa Gede Palguna dan Aswanto memberikan saran perbaikan. Patrialis mengingatkan kepada para pemohon bahwa MK bukanlah positive legislator sehingga tidak bisa menambahkan pasal. Untuk itu, dalil pemohon harus diubah agar masuk ke dalam kewenangan MK.
Lainnya, Patrialis mempertanyakan objek yang menjadi permohonan pemohon. Ia melihat objek yang difokuskan pemohon lebih cenderung pada Peraturan Tata Tertib, bukan UU MD3. "Apakah Undang-Undang MD3 atau lebih kepada peraturan tata tertib DPD itu sendiri, ya? Setelah kami mendengarkan tadi, kemudian juga membaca, kelihatannya fokus lebih banyak kepada program tata tertib. Tapi, nanti bisa dijelaskan kembali," sarannya.
Sedangkan Palguna menitikberatkan pada petitum provisi pemohon yang meminta agar Peraturan Tata Tertib tidak berlaku sampai adanya putusan MK terhadap permohonan pemohon. Ia menegaskan MK tidak mempunyai kewenangan memutus putusan provisi. Ia melihat permohonan pemohon lebih mengarah pada sengketa kewenangan lembaga negara, namun ia mengingatkan SKLN hanya bisa diajukan oleh lembaga negara yang kewenangannya ada dalam UUD 1945. Untuk itu, ia meminta agar para pemohon fokus pada uji konstitusionalitas norma saja.
"Mahkamah Konstitusi itu memutus sengketa kewenangan lembaga negara, antarlembaga negara menyangkut kewenangan yang itupun kewenangannya yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945. Itu kalau kita lihat esensinya, tetapi karena pemohon tahu bahwa itu tidak menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi, ya dibawa lah silakan normanya yang anu ini kan, yang dipersoalkan. Jadilah pengujian undang-undang," tandasnya.(LuluAnjarsari/lul/MK/bh/sya) |